Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada
tahun 1905, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk
melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul
Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan
yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa
penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa
Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan
15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr,
Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan
Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait
al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan
di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang
ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka.
Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada
tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya
melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib,
yang terjadi dalam tiga periode.
Pada musim semi tahun 1095 M; 150.000 orang
Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju
Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh
Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18
Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha
(Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai
raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan
kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga
berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan
Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu,
tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.),
Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan
kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak,
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Numuddin
Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada
tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang
Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang
suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad
II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria.
Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Numuddin Zanki. Mereka tidak
berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri
pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian
dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah
di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin
sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan.
Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard
the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini
bergerak pada tahun 1189 M. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan
Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2
Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa
orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh
raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu
sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari
dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara
al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum
muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir
selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan
posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun.
Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, tahun 1291
M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti
di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini
mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian
mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil
yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik
Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan
membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap
sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi,
sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik
Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini
sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya.
Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang
terjadi sebelumnya.
Nabi Muhammad SAW memang tidak menentukan
bagaimana cara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau nampaknya,
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam
sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang
berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan
darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Setelah Nabi
wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai
kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa
kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing
golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan
mereka yang baik dan semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu
dapat diselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena
perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan
pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun
di balik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang
menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia
berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi
dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali
gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan
khilafah itu pula Muawiyah, gubemur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan
korban, Muawiyah berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas
pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada
masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti
oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa
pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering
terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh
al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang
untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan
terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan
kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi,
pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya,
meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan
mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah
yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulat
Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang
putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu
Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini
memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki.
Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang
panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka
kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy .Karena
prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua
saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al- Karaj itulah ekspansi
kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan
daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan.
Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil
menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah
Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah
dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil
mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan
Wasith.
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk
merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda
kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan
pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih
yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya
tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh
khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara,
dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di
bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad
al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray,
dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap
para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani
Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah
benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di
tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa
sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah,
sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering
terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara
dan sebagainya.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih
memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung
tersendiri di tengah kota dengan nama Daral-Mamlakah. Meskipun demikian,
kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih
(saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa
dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani
Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan
kembali dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para
penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih
ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn
Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih
(w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa.
Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid,
beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut
diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan
industri, terutama permadani.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama
bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi
ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak
atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar,
putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam
perebutan jabatan amIr al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani
Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan
kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan
dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan
Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat
diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah,
masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan
wibawa pemerintah.
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan
politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada
kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut
diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia
Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari
kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah
yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir,
Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di
Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari
tangan Bani Buwaih.
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan
Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al-
Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya
sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya,
al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal Al-Malikal-Rahim dan Khalifah
al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah,
(al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta
bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri
Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki
Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir,
dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah
kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode
keempat khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil
rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat
Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu
mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu,
mereka disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi
kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan
laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat
besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud
menyingkirkan Seljuk.
Namun sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk
mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi
bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a
al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya
dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti
Samaniyah yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab
Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk
menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya
dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan
dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya
Mikail, saudaranya dapat ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan
selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil
mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429
H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah keberhasilan
tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432
H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di
saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan
posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan
Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray,
dan Isfahan.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik
setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama
dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi'ah.
Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat
pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya.
Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan
dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus
menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan
mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M),
dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465
H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487 H/1092-1094 M),
Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja'
Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris Sanjar(511-522H/1117-1128 M).
Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar
atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di
beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan
perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat
sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa
penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa
Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar
yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan
Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang
baginya untuk melakukan gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil.
Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp
Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah
kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu putera Arselan,
Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti
Seljuk ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah
Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
1.
Seljuk Besar yang
menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk
dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2.
Seljuk Kirman berada
di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah
syekh yang memerintah dua belas orang.
3.
Seljuk Irak dan
Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara
berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4.
Seljuk Syria,
diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk,
jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5.
Seljuk Rum, diperintah
oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang
memerintah seluruhnya 17 orang.
Disamping membagi wilayah menjadi lima,
dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga
mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa
Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan
agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang
dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini
memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah
di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang
Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi
model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka
adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy
dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid
al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.
Bukan hanya pembangunan mental spiritual,
dalam pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Malik Syah
terkenal dengan usaha pembangunan di bidang yang terakhir ini. Banyak masjid,
jembatan, irigasi dan jalan raya dibangunnya.
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk
wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan
kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan
diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga
melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan
diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit
demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri
Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada
tahun 590 H/l199 M.